By the way … Elias, bukan nama sebenarnya, seorang siswa kelas 3 SMP negeri di sebuah kota besar. Ia seorang siswa beragama Katolik, satu-satunya yang dibaptis Katolik di dalam kelasnya. Jumlah yang beragama katolik di seluruh sekolah negeri ini kurang dari sepuluh orang, namun Elias tidak mengenal mereka.
Alasan ia tidak mengenal mereka satu per satu karena tidak pernah ada kegiatan agama Katolik di sekolah itu. Alasan tidak ada kegiatan Katolik karena tidak ada guru beragama Katolik. Sekolah mungkin saja menganggapnya tidak ada gunanya menaruh seorang guru agama Katolik hanya untuk 8 atau 9 siswa.
Elias dapat dipandang seorang anak remaja atau seorang anak muda yang mampu keluar dari kesulitan. Mungkin orang tuanya ikut andil dalam membimbingnya secara Katolik. Ia mengisi kekosongan pelajaran agama Katolik itu dengan aktif sebagai putera altar di parokinya. Meskipun jarak dari rumahnya ke gereja paroki cukup jauh, ia berusaha tetap rajin melayani sebagai putera altar.
Satu keberuntungan lain yang ia dapatkan ialah dengan menjadi “aktivis” di media sosial Instagram, tempat ia bertemu orang muda Katolik seluruh Indonesia. Di dalam media ini ada Romo yang menjadi salah satu admin-nya. Romo juga menjadi admin untuk link whatsapp untuk IG tersebut. Elias menjadi salah satu penghuni dan aktivis di group wa tersebut.
Di dalam group itu ia menemukan semacam sebuah komunitas “Gereja Digital”, tempat terjadi interaksi setiap hari, bahkan setiap waktu, di antara para remaja seluruh tanah air Indonesia. Mereka umumnya berinteraksi sangat ramai pada waktu malam, mungkin setelah selesai belajar atau bekerja. Pada akhir pekan juga mereka bertemu begitu ramai.
Sepanjang pengetahuan si Romo itu, perbincangan mereka adalah secara umum tentang menjadi Katolik di masing-masing paroki. Banyak juga yang menanyakan hal-hal yang rutin di dalam Gereja Katolik, seperti doa-doa, ekaristi, lagu-lagu rohani, sakramen dan sebagainya.
Namun pertanyaan Elias suatu kali cukup merepotkan Romo. “Romo, mau ga datang ke sekolahku?” Romo langsung saja menjawab: “Ada maksud apa Elias, kalau Romo datang ke situ?” Beberapa menit kemudian Elias baru menjawabnya. Rupanya ia sedang berkoordinasi dengan 7 rekan Katoliknya di sekolah. Mereka ingin berkumpul di awal tahun ajaran baru.
“Kami mengundang Romo untuk Ibadat atau Misa di sekolah. Tetapi kami hanya 8 orang Katolik. Sekolah sudah mengijinkan dan memberikan fasilitas ruangan untuk perayaan Katolik. Apakah Romo bisa datang?” Begitulah isi wa Elias yang cukup panjang.
Romo ini mungkin sama dengan banyak Romo lain yang sangat memperhitungkan efektivitas dalam bekerja. Ia melakukan suatu pekerjaan dan pelayanan, misalnya hanya untuk 8 orang, gampang untuk memandang ini sangat tidak efektif.
Maka awalnya ia keberatan menerima undangan itu. Ia sengaja menunda jawabannya kepada Elias. Mungkin saja dengan kesengajaan, remaja itu akhirnya berhenti mengundang. Tetapi tiga hari berturut-turut Elias terus mengundang. Karena hanya Romo ini yang ia kenal dekat, meski hanya melalui medsos.
Akhirnya Romo menyanggupi undangan itu setelah tiga hari menunda jawabannya kepada Elias. Baginya pertanyaan: “Mau ga datang ke sekolahku?” adalah suatu pertanyaan yang besar dan berat. Elias hanya mewakili sekian banyak umat yang bertanya dan meminta yang sama, secara verbal atau tulisan, supaya Romo datang kepada mereka.
Setelah memutuskan untuk datang merayakan Misa bersama 8 orang anak itu, Romo kini menemukan sebuah efektivitas dalam pelayanannya. Meskipun hanya sekelompok kecil kawanan domba, namun mereka sangat nyata berkumpul dalam nama Tuhan.
Sebab dua atau tiga orang berkumpul dalam persekutuan rohani itu, Tuhan hadir bersama mereka (Matius 18, 20). Itu adalah sebuah efektivitas.